Prosesi Sedekah Laut Cilacap
Setiap masyarakat di suatu tempat atau daerah tertentu pasti memiliki kebiasaan kebiasaan adat tertentu. Terlebih di daerah daerah Indonesia, yang mana Negara Indonesia sendiri merupakan Negara kepulauan, tentunya ini berdampak lebih terhadap aktifitas kebudayaan. Distribusi kebudayaan dari asing, influence budaya asing terhadap budaya asli Indonesia, dan lain lain.
Kebudayaan kebudayaan asli suatu masyarakat tentunya telah terukir dengan sangat mendalam di setiap jiwa para anggota masyarakat tersebut, terlebih ketika suatu kelompok masyarakat tersebut memiliki akses yang kurang intens dan terbatas dengan dunia luar. Namun banyak pula yang kebudayaan kebudayaan asli suatu daerah tetap dipertahankan meski jaman telah berkembang secara pesat baik dalam bidang teknologi, intelektual individu, pola pikir, dan lain lain. Dan masyarakat menganggapnya sudah menjadi tradisi turun menurun. Salah satu contohnya adalah ritual Sedekah Laut atau ada beberapa yang menyebutnya larung sesaji ke laut. Di Cilacap Jawa Tengah contohnya. Acara atau prosesi tersebut dilaksanakan setiap bulan Muharam atau Sura pada hari Jumat Kliwon siang. Kegiatannya adalah menghanyutkan sesaji dan kepala kerbau ke laut untuk persembahan kepada Nayi Roro Kidul yang mana Nyai Roro Kidul diyakini masyarakat sekitar sebagai ratu penguasa pantai selatan. Segala penghidupan yang berasal dari laut mereka yakini atas campur tangan Nyai Roro Kidul. Oleh karena itu Nyai Roro Kidul sangat dihormati, persembahan persembahan sesaji itu diharap untuk mendapatkan ridho dan simpati dari Sang Ratu.
Beberapa hari sebelum prosesi dilakukan, biasanya pemerintah sudah memberikan wara wara dalam bentuk baliho atau sepanduk di jalan jalan kota Cilacap, sehubungan dengan waktu dan tempat diadakan, biasanya di pantai Teluk Penyu Cilacap. Pada satu hari sebelumnya, diadakan nyekar atau ziarah yang dilakukan oleh sesepuh atau pemimpin ritual di pulau Majethi dan dilanjutkan dengan pengambilan air suci di pulau tersebut, dimana pulau tersebut merupakan tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma. Malam harinya dilaksanakan tirakatan yang dilakukan oleh beberapa masyarakat dan sesepuh di pendopo kota dan dilanjutkan potong tumpeng, pembuatan sesaji, gunungan yang berbentuk rumah joglo, dan pernak pernik lainnya untuk prosesi larung sesaji besok harinya. Kesokan harinya sesaji, gunungan dan segala perlengakapan ritual lainnya dibawa menuju laut, dna kemudian dilarungkan atau dihanyutkan secara khidmat.
Dari kegitan tersebut kita dapat mengamati, kegiatan tersebut dilakukan secara mendalam sebagai nilai nilai luhur yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarkat. Kegiatan tersebut merupakan bentuk suatu akulturasi nilai nilai keislaman masyarakat dengan keyakinan animisme-dinamisme dan hindu-budha jaman dulu. Nilai keislaman terdapat pada bacaan bacaan yang dilantunkan, serta shalawat juga kerap kali dilalntunkan, nilai animism-dinamisme dan hindu-budha terdapat pada proses pemakaian sesaji sesaji.
Kegiatan tersebut merupakan prosesi sakral dan mengandung nilai nilai kewajiban bagi kalangan masyarakat. Bila tidak dilangsungkan maka akan mendapat feedback tertentu. Acara tersebut dimulai sekitar tahun 1817 ketika pemerintahan Adipati Cakrawerdaya III, beberapa tahun sempat diberhentikan namun kembali diadakan kembali ketika kepemimpinan Bupati Poedjono sekitar tahun 1982. Dan akhirnya sampai sekarangpun prosesi tersebut rutin diadakan setiap bulan Muharam atau Sura. Sebenarnya prosesi tersebut juga sedikit menimbulkan pro dan kontra, terlebih bagi mereka mereka yang religious. Mereka menganggap prosesi tersebut menjadi sesuatu yang berbau akan syirik, yaitu menduakan Tuhan. Namun para masyarakat yang setia pada prosesi tersebut hanya menganggapnya angina lalu. Sekitar tahun 2011 pernh ada kejadian kapal meledak ketika acara sedekah laut, sedikitnya 17 orang penumpang kapal yang bermaksud menyaksikan menjadi korban. Namun kejadian itu tidak membatalkan prosesi Ssedekah Laut.
Saya asli orang Cilacap, menurut saya pribadi, kegiatan atau prosesi tersebut sudah mendarah daging bagi masyrakat kota Cilacap yang bertempat tinggal di sekitar pantai khususnya. Kalau kita bicara tentang keberlangsungan, sampai kapan acara tersebut akan dapat dipertahankan, kita dapat melihat pada latar belakang individual masing masing masyarakatnya dan arus pola pikir masyarakatnya. Dilihat dari latar belakang, kebanyakan penganut prosesi tersebut adalah mereka yang bertempat tinggal di sekitaran pantai, dan sebagian besar masyarakat Cilacap memang bermata pencaharian sebagai nelayan. Dilihat secara pola pikir, masyarakat sekarang tentunya sudah berpikir lebih, intelek, dan kritis. Seperti Bupati Cilacap sendir Tatto S. Pamuji, 100 persen mendukung acara tersebut, tetapi beliau lebih menekankan pada sisi entertainment . Acara yang bersifat sacral dapat dinikmati oleh baik kalangan masyrakat Cilacap sendiri atau orang luar Cilacapa atau bahkan luar negeri menjadi suatu acara yang mengasyikan. Dan ini bias berarti menambah income sendiri bagi kota Cilacap. Selama acara tersebut tidak mengakibatkan suatu hal yang buruk saya kira sah sah saja, terlebih acara seperti ini dapat membuat nama Kota saya sendiri terkenal dengan karakteristik kebudayaannya tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar